Kamis, 25 April 2013

REFORMASI PAJAK SEBAGAI SEBUAH BUSINESS PROCESS REENGINEERING: PERUBAHAN RADIKAL DAN DRAMATIS

Sebagai sebuah organisasai yang besar, dengan jumlah karyawan lebih dari 30 ribu orang, Direktorat Jenderal Pajak adalah potret dari instansi publik yang cukup sukses dalam melaksanakan reformasi birokrasi dibidangnya yaitu bidang perpajakan. Pada tahun ini Dirjen Pajak mengemban amanat untuk mengumpulkan penerimaan pajak lebih dari 1000 triliun rupiah.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan perkembangan bisnis pihak yang menjadi stakeholder utama instansi ini, maka sejak tahun 2002 telah dilaksanakan reformasi, transformasi, reorganisasi atau apaun namanya yang sebenarnya adalah sebuah rekayasa ulang proses bisnis atau business process reengineering. Perlunya tindakan ini dilakukan karena sistem operasi yang lama sudah tidak lagi mendukung operasional yang akan mencapai performa terbaik. Untuk itu sistem lama tersebut perlu diganti dengan yang baru, sebuah perubahan radikal yang tentu akan banyak menemui tantangan pada saat pertama kali digulirkan.

Walter Hamscher (1994) dalam sebuah artikelnya berjudul AI in Business Process Reengineering menyebutkan bahwa rekayasa ulang proses bisnis adalah istilah umum yang mencakup variasi perspektif bagaimana mengubah organisasi. Ada dua hal penting yang memungkinkan terjadinya rekayasa ulang proses bisnis. Yang pertama adalah peran dari teknologi informasi dan kedua adalah segala sesuatu yang mendukung perubahan proses itu sendiri.

Dalam bukunya, Managing Information Technology, berdasarkan Leavitt diamond Brown et.al, menyebutkan ada 4 komponen fundamental dari organisasi yang harus harmonis agar organisasi bisa efektif. Pertama adalah manusianya, teknologi informasi, proses bisnis dan struktur organisasi. Perubahan pada satu komponen, akan mempengaruhi tiga komponen lainnya. Contoh, penggunaan software ataupun aplikasi tertentu akan membutuhkan para karyawan untuk ditraining atau dilatih kembali, cara bekerja yang berubah dan tanggung jawabnya disertai dengan redesign prosedur operasi, dan hubungan pelaporan harus dimodifikasi ulang. Pada prinsipnya tiap kali dilakukan perubahan pada karakteristik satu atau lebih pada komponen organisasi, harus dipertimbangkan pula kompensasi perubahan pada komponen lainnya.

Mencermati 4 komponen tersebut, lalu dari manakah Dirjen Pajak memulainya? Apakah dari manusianya, struktur organisasinya, teknologi informasinya, ataukah proses bisnisnya? Berdasarkan data, bahwa perubahan dimulai dengan pembentukan Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar pada tahun 2002, disertai dengan penerapan Sitem Informasi yang berkaitan dengan pelayanan Wajaib Pajak dan pembentukan basis data yang baik, perubahan struktur organisasi berdasarkan fungsi, dan redesign ulang proses bisnis, maka Dirjen Pajak memang melakukan rekayasa ulang poses bisnis ini dengan serentak 4 komponen fundamental dari organisasi, meskipun dalam lingkup yang lebih sempit terlebih dahulu.

Seiring berjalannya waktu, untuk menjaga momentum reformasi, manajemen perubahan perlu dilakukan. Karena berdasarkan penelitian dari beberapa pakar, kecenderungan anggota organisasi untuk kembali ke keseimbangan semula atau equilibrium sebelum terjadinya rekayasa ulang proses bisnis akan dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa pentingkah reformasi ini, apa manfaatnya bagi kita dan lain sebagainya yang menghambat reformasi akan bermunculan. Rekayasa ulang memang sebuah proyek yang kompleks melibatkan banyak faktor. Untuk mencapai kesuksesan, sangat esensial bahwa perubahan perlu di manage dan perhatian yang lebih perlu dilakukan terhadap faktor kontekstual yaitu dukungan pimpinan yang lebih tinggi dan kompetensi teknologi (Grover et,al (1995)).

Perhatian publik terhadap kasus-kasus yang menimpa para karyawan Dirjen Pajak sebaiknya menjadi perhatian bahwa potensi kegagalan rekayasa ulang proses bisnis dapat terjadi. Potensi tersebut dapat terjadi di tingkatan permasalahan-permasalahan dukungan manajemen seperti kurangnya, pimpinan atau menejemen senior dalam usaha menerapkan rekayasa ulang proses bisnis, permasalahan pada kompetensi teknologi seperti terbatasnya penguasaan pengetahuan IT karyawan, permasalahan pada perumusan scoupe dan identifikasi permasalahan, permasalahan pada perencanaan dan eksekusi seperti kurangnya pemahaman visi, permasalahan pada manajemen perubahan seperti resistensi, komitmen terhadap nilai baru yang dirumuskan, keberadaan budaya kerja yang perlu diubah, dan kakunya struktur hirarkis.

Oleh karena itu perubahan radikal yang telah diputuskan untuk dilakukan oleh Dirjen Pajak tetap harus dilanjutkan dengan memperhatikan beragam faktor sukses dan gagal untuk diantisipasi, karena perubahan memang harus dilakukan atau kalau tidak hanya akan menjadi sebuah instansi yang yang besar dalam jumlah anggota organisasi tetapi tidak memberikan karya terbaiknya untuk para pemangku kepentingan.

Ditulis oleh

Ken Suryo Purnomo

1 komentar: