REFORMASI PAJAK SEBAGAI SEBUAH BUSINESS PROCESS REENGINEERING: PERUBAHAN RADIKAL DAN DRAMATIS
Sebagai sebuah organisasai yang besar, dengan jumlah
karyawan lebih dari 30 ribu orang, Direktorat Jenderal Pajak adalah potret dari
instansi publik yang cukup sukses dalam melaksanakan reformasi birokrasi
dibidangnya yaitu bidang perpajakan. Pada tahun ini Dirjen Pajak mengemban
amanat untuk mengumpulkan penerimaan pajak lebih dari 1000 triliun rupiah.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan
perkembangan bisnis pihak yang menjadi stakeholder utama instansi ini, maka
sejak tahun 2002 telah dilaksanakan reformasi, transformasi, reorganisasi atau
apaun namanya yang sebenarnya adalah sebuah rekayasa ulang proses bisnis atau business process reengineering. Perlunya
tindakan ini dilakukan karena sistem operasi yang lama sudah tidak lagi
mendukung operasional yang akan mencapai performa terbaik. Untuk itu sistem
lama tersebut perlu diganti dengan yang baru, sebuah perubahan radikal yang
tentu akan banyak menemui tantangan pada saat pertama kali digulirkan.
Walter Hamscher (1994) dalam sebuah artikelnya berjudul AI in Business Process Reengineering
menyebutkan bahwa rekayasa ulang proses bisnis adalah istilah umum yang
mencakup variasi perspektif bagaimana mengubah organisasi. Ada dua hal penting
yang memungkinkan terjadinya rekayasa ulang proses bisnis. Yang pertama adalah
peran dari teknologi informasi dan kedua adalah segala sesuatu yang mendukung
perubahan proses itu sendiri.
Dalam bukunya, Managing
Information Technology, berdasarkan Leavitt diamond Brown et.al,
menyebutkan ada 4 komponen fundamental dari organisasi yang harus harmonis agar
organisasi bisa efektif. Pertama adalah manusianya, teknologi informasi, proses
bisnis dan struktur organisasi. Perubahan pada satu komponen, akan mempengaruhi
tiga komponen lainnya. Contoh, penggunaan software ataupun aplikasi tertentu
akan membutuhkan para karyawan untuk ditraining atau dilatih kembali, cara
bekerja yang berubah dan tanggung jawabnya disertai dengan redesign prosedur
operasi, dan hubungan pelaporan harus dimodifikasi ulang. Pada prinsipnya tiap
kali dilakukan perubahan pada karakteristik satu atau lebih pada komponen
organisasi, harus dipertimbangkan pula kompensasi perubahan pada komponen
lainnya.
Mencermati 4 komponen tersebut, lalu dari manakah Dirjen
Pajak memulainya? Apakah dari manusianya, struktur organisasinya, teknologi
informasinya, ataukah proses bisnisnya? Berdasarkan data, bahwa perubahan
dimulai dengan pembentukan Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar pada tahun 2002,
disertai dengan penerapan Sitem Informasi yang berkaitan dengan pelayanan
Wajaib Pajak dan pembentukan basis data yang baik, perubahan struktur
organisasi berdasarkan fungsi, dan redesign ulang proses bisnis, maka Dirjen
Pajak memang melakukan rekayasa ulang poses bisnis ini dengan serentak 4
komponen fundamental dari organisasi, meskipun dalam lingkup yang lebih sempit
terlebih dahulu.
Seiring berjalannya waktu, untuk menjaga momentum
reformasi, manajemen perubahan perlu dilakukan. Karena berdasarkan penelitian dari beberapa pakar,
kecenderungan anggota organisasi untuk kembali ke keseimbangan semula atau
equilibrium sebelum terjadinya rekayasa ulang proses bisnis akan dilakukan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa pentingkah reformasi ini, apa manfaatnya
bagi kita dan lain sebagainya yang menghambat reformasi akan bermunculan. Rekayasa
ulang memang sebuah proyek yang kompleks melibatkan banyak faktor. Untuk
mencapai kesuksesan, sangat esensial bahwa perubahan perlu di manage dan perhatian yang lebih perlu
dilakukan terhadap faktor kontekstual yaitu dukungan pimpinan yang lebih tinggi
dan kompetensi teknologi (Grover et,al (1995)).
Perhatian publik terhadap kasus-kasus yang menimpa para
karyawan Dirjen Pajak sebaiknya menjadi perhatian bahwa potensi kegagalan
rekayasa ulang proses bisnis dapat terjadi. Potensi tersebut dapat terjadi di
tingkatan permasalahan-permasalahan dukungan manajemen seperti kurangnya, pimpinan atau menejemen senior dalam usaha menerapkan
rekayasa ulang proses bisnis, permasalahan pada kompetensi teknologi seperti
terbatasnya penguasaan pengetahuan IT karyawan, permasalahan pada perumusan
scoupe dan identifikasi permasalahan, permasalahan pada perencanaan dan
eksekusi seperti kurangnya pemahaman visi, permasalahan pada manajemen
perubahan seperti resistensi, komitmen terhadap nilai baru yang dirumuskan,
keberadaan budaya kerja yang perlu diubah, dan kakunya struktur hirarkis.
Oleh karena itu perubahan radikal yang telah diputuskan
untuk dilakukan oleh Dirjen Pajak tetap harus dilanjutkan dengan memperhatikan
beragam faktor sukses dan gagal untuk diantisipasi, karena perubahan memang
harus dilakukan atau kalau tidak hanya akan menjadi sebuah instansi yang yang
besar dalam jumlah anggota organisasi tetapi tidak memberikan karya terbaiknya
untuk para pemangku kepentingan.
Ditulis oleh
Ken Suryo Purnomo
Kalau ada masukan, mohon diposkan ya..
BalasHapus