PENDAHULUAN
Untuk
memperoleh tambahan lahan, maka pengelola kota dalam hal ini pemerintah propinsi
maupun kota besar melihat potensi daerah yang selama ini terlupakan,
yaitu pantai yang umumnya memiliki kualitas lingkungan hidup yang rendah. Fenomena pegembangan lahan ini
bukan saja dialami di Indonesia, tapi juga dialami negara maju, sehingga wilayah pantai menjadi
perhatian dan tumpuan harapan dalam menyelesaikan penyediaan hunian penduduk
perkotaan. Penyediaan lahan di wilayah pesisir dilakukan dengan memanfaatkan
lahan atau habitat yang sudah ada, seperti perairan pantai, lahan basah, pantai
berlumpur dan lain sebagainya yang dianggap kurang bernilai secara ekonomi dan
lingkungan sehingga dibentuk menjadi lahan lain yang dapat memberikan
keuntungan secara ekonomi dan lingkungan atau dikenal dengan reklamasi.
Pada
tahun 1984, beberapa konsorsium pengusaha dan pebisnis melaksanakan reklamasi
Pantai Utara Jakarta. Pelopor dari reklamasi Pantai Utara Jakarta ini adalah
Ir. Ciputra tentu dengan dukungan dari sejumlah birokrat saat itu. Daerah yang direklamasi adalah terkenal dengan nama Pantai Indah
Kapuk.
Melihat
aspek topografisnya, perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang terletak wilayah
Jakarta Utara berada satu meter di bawah permukaan air laut pasang. Ini jelas
menyulitkan pengembangan kawasan ini sebagai tempat hunian karena sewaktu-waktu
dapat dilanda banjir atau air pasang. Apalagi air di kawasan ini sama sekali tidak bisa dijadikan air
minum.
Semula area
ini adalah rawa yang terletak di bagian utara Jakarta
yang berfungsi sebagai daerah peresapan air. Kawasan Pantai Indah Kapuk juga
merupakan Suaka Margasatwa Muara Angke. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan
bagian dari hutan Angke Kapuk yang total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian
besar hutan Angke Kapuk sudah dikuasai PT Mandara Permai, pengembang yang
membangun kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk. Dari 1.154,88 hektar hutan
yang ada di kawasan hutan Angke Kapuk, 827,18 hektar di antaranya diambil alih
untuk permukiman, lapangan golf, tempat rekreasi dan olahraga, bangunan umum,
olahraga air, cottage, hotel, dan kondominium. Menurut data Dinas Kehutanan
Provinsi DKI, luas kawasan hutan yang dipertahankan tinggal 327,7 hektar,
terdiri atas hutan lindung (44,76 hektar), hutan wisata (99,82 hektar), suaka
margasatwa (25,02 hektar), kebun pembibitan (10,5 hektar), transmisi PLN (23,70
hektar), Cengkareng Drain (28,39 hektar), serta untuk keperluan jalan tol dan
jalur hijau (95,50 hektar).
URAIAN PEMBAHASAN
Teori
Reklamasi mempunyai maksud untuk menambah luasan daratan untuk
suatu aktivitas yang sesuai di suatu wilayah. Contoh pemanfaatan lahan
reklamasi adalah untuk keperluan industri, terminal peti kemas, kawasan
pariwisata dan kawasan pemukiman. Selain itu, kegiatan reklamasi ini juga dimanfaatkan
untuk keperluan konservasi kawasan pantai. Kegiatan ini dilakukan bilamana
suatu wilayah sudah tererosi atau terabrasi yang parah sehingga perlu
dikembalikan seperti kondisi semula.
Dalam hukum, istilah reklamasi di
temukan pada UU Nomor: 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739), pada butir 23 memberikan definisi bahwa
reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Dampak negatif reklamasi pantai menurut Budi Usman (2005) dalam Roosanty (2008) secara garis besar antara lain adalah ancaman banjir, perubahan ekosistem, ancaman hilangnya mata
pencaharian nelayan, masalah sosial, urbanisasi, penyediaan air bersih dan lalu
lintas yang padat. Menurut Herrifendi Sitohang (2005) dalam Roosanty (2008) mengakibatkan hilangnya sumber tanah material urukan,
membutuhkan banyak tanah, frekuensi transportasi tinggi, akan merusak ruas
jalan, perubahan topologi dan ketinggian, terganggu dan berubahnya kondisi
ekonomi, sosial, serta lingkungan. Sedangkan dampak positif reklamasi pantai
antara lain menurut Budi Usman (2005) dalam Roosanty (2008) tertatanya kawasan pantai, tersedianya ruang bisnis, permukiman baru,
lapangan kerja yang baru, meningkatkan arus investasi dan pengembangan ruang
wisata baru. Menurut Moh Faiqun Ni’am (1999) dalam Roosanty (2008) mengakibatkan perubahan citra laut menjadi waterfront city,
penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan atau
peremajaan daerah pantai dan pengembangan wisata bahari.
Menurut Djakapermana, kegiatan
reklamasi mengakibatkan perubahan sosial ekonomi seperti, kesulitan akses
publik menuju pantai dan hilangnya mata pencaharian nelayan. Sehingga untuk
meminimalkan dampak fisik, ekologis, sosial ekonomi dan budaya negatif serta
mengoptimalkan dampak positif, maka kegiatan rekalamasi harus dilakukan secara
hati-hati dan berdasar pada pedoman yang ada dengan melibatkan stakeholder.
Pada prinsipnya, reklamasi harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan yaitu memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dengan
orientasi pada jangka panjang.
Kontroversi
Kawasan
pemukiman mewah Pantai Indah Kapuk (PIK) memang menjadi pusat perhatian publik.
Keberadaan kawasan pemukiman tersebut seringkali dianggap sebagai penyebab banjir di kawasan sekitarnya,
termasuk jalan Sedyatmo, ruas jalan tol yang menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Kawasan Jakarta
Utara 40
persennya berada di bawah permukaan air pasang, maka
selayaknya untuk Jakarta Utara satu-satunya sistem hidrologi yang bisa dipakai
sebenarnya sistem polder. Sebenarnya bisa juga dengan menguruk tanah sehingga
menjadi lebih tinggi, namun tetap saja apabila terjadi pasang kemungkinan
banjir bisa terjadi.
Pada
sistem polder, satu area tertentu akan dibatasi oleh tanggul. Air akan
disalurkan dengan saluran kolektor masuk ke suatu waduk. Sampai pada ketinggian
tertentu, air dari waduk akan dipompa ke laut. Jika tidak dibuat tanggul, air
laut akan masuk ke daratan. Sebaliknya kalau ada tanggul tetapi di dalam tidak
ada saluran atau kanal, air tidak akan bisa ke mana-mana. Demikian pula air
buangan rumah tangga dengan tricking
filter akan dibuang ke waduk dan dipompa ke laut.
Dengan
demikian pihak PIK menolak tegas bila Pantai Indah Kapuk disebut-sebut merusak
lingkungan atau penyebab banjir di Jakarta Utara. Karena sebenarnya, dengan
kecenderungan kawasan ini yang landai, seharusnya seluruh Jakarta Utara
menggunakan sistem polder. Tidak ada perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh
sistem tersebut.
Sebagai
kawasan perumahan yang mahal, PIK memiliki akses tersendiri ke jalan tol dalam kota. Dari Grogol
jika ingin menuju PIK sudah tidak perlu ke Pluit atau Muara Karang, tetapi
langsung keluar di pintu tol Kapuk Muara. Demikian sebaliknya, dari PIK dapat
langsung masuk ke tol dalam kota. Sedangkan akses ke luar ada dua yaitu dari
Taman Grisenda langsung ke Daan Mogot dan Puri Indah, serta dari Mediterania
lewat Pluit Karang . Dengan demikian akan mempercepat mereka yang berbisnis di
Mangga Dua, Grogol, Tanjung Priok, Jakarta Barat dan sebagainya.
Pihak
pengembang optimis PIK akan sustainable. Karena wilayah Muara Karang dan Pluit sudah
padat dengan perumahan penduduk. Masyarakat pasti akan mencari perumahan di PIK
karena di sini mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan tempat
bisnis yang mudah dijangkau.
Sebelum Pengembangan
Sebelum
dikembangkan kawasan permukiman, Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan tempat atau
habitat satwa-satwa liar. Beberapa jenis satwa liar seperti burung kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), kuntul (Egretta spp), pecuk (Phalacrocorax spp), belibis (Dendrocygna spp), raja udang (Todirhampus spp), bubut jawa (Centropus nigrorufus) biawak (Varanus salvator), berbagai jenis ular
seperti sanca (Python reticulatus)
dan kobra (Naja sputatrix). Di tempat
itu juga ada monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) yang saat ini jumlahnya lebih kurang 60 ekor, yang dilindungi
oleh aturan internasional karena termasuk dalam kategori rentan.
Daerah
ini juga mempunyai fungsi sebagai pengendali banjir. Sebagai upaya melindungi
kawasan penyerapan dan perlindungan terhadap abrasi pantai, pemerintah Hindia
Belanda saat itu menetapkan kawasan hutan bakau Muara Angke sebagai kawasan
konservasi. Suaka Margasatwa Muara Angke bisa disebut sebagai salah satu ruang
terbuka hijau yang secara ekologi masih memiliki komponen biotik dan abiotik
yang cukup lengkap. Lahan yang terdapat di kawasan Pantai Indah Kapuk merupakan
lahan basah atau yang disebut wetland
sehingga merupakan tempat ekosistem yang baik bagi populasi burung air dan
burung migran yang tidak dapat dilepaskan dari ekosistem hutan mangrove di
Pantai.
Setelah Pengembangan
Dirubahnya
fungsi lahan yang merupakan rawa dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai
daerah resapan air menjadi lahan permanen mengakibatkan air yang semula
terhimpun di wilayah ini kemudian menjadi genangan-genangan disekitarnya yang
meluap apabila musim penghujan tiba, selain itu disekitar Jakarta terutama
kawasan Jakarta Utara kondisi air tanah sudah mengalami penyusutan dan
kerusakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Lahan
di daerah PIK dimanfaatkan untuk berbagai sektor yang bertolak belakang dan
tidak saling mendukung. Kawasan yang pada awalnya adalah suaka margasatwa dan
ikatan mata rantai ekosistem yang dinamis kini hanya menjadi asset ekonomi yang
menghasikan profit bagi pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan dari proyek tersebut yang bernilai ekonomis
lebih diprioritaskan dibanding proyek pelestarian lingkungan dan sumberdaya.
Dengan
mengambil keuntungan dari profit yang merusak ekosistem, ekologi dan
keanekaragaman hayati akan mendatangkan permasalahan yang lebih besar. Contohnya adalah masalah
banjir yang setiap tahunnya melanda Jakarta. Daerah Pantai Indah Kapuk dengan
permukiman yang bernama Pondok Indah Kapuk dibangun di wilayah di bawah permukaan air laut. Akibatnya alih fungsi
lahan yang bersifat permanen ini membuat tidak adanya resapan air, akibatnya
banjir akan terjadi di sekitar wilayah Pantai Indah Kapuk.
Namun desain pembangunan kawasan perumahan PIK membuat
penghuninya tidak
merasakan masalah ini karena air pada lahan basah ini dialirkan ke wilayah-wilayah
sekitarnya. Lahan ini juga mengalami penurunan, dapat dilihat dari jalan tol
menuju bandara Soekarno-Hatta, lahan daerah tersebut semakin rendah.
Pemadatan
tanah pada areal seluas 831 ha mengakibatkan jika terjadi hujan, air sebanyak 16 juta meter kubik tidak
tertampung. Genangan air pun meluap ke wilayah sekitarnya dan menenggelamkan
badan jalan tol Sedyatmo serta pemukiman penduduk sekitarnya. Pola pemanfaatan
lahan masih dianggap permasalah sektoral sehingga masalah ini menjadi agenda
subwilayah yang kadang terabaikan bahkan menjadi suatu masalah yang dibayar
dengan sejumlah uang tertentu, padahal kriteria setiap kawasan berbeda. Keadaan
tanah dan kondisi lahan harus sesuai dengan pola pemanfaatnnya, sehingga tidak
terjadi kesalahan persepsi dalam pemanfaatan lahan yang dapat berakibat fatal.
Terhalangnya aliran air ke laut karena adanya kawasan pemukiman ditepian pantai
membuat keadaan kawasan ini menjadi tidak nyaman.
Walhi
menegaskan pemerintah tidak memberikan ruang dan rasa hormat yang cukup pada
kaum nelayan dan masyarakat kecil. Struktur negara tidak mempunyai komitmen
dalam melindungi nelayan. Misalnya reklamasi yang harusnya untuk hutan bakau
malah dikonversi menjadi perumahan elite. Dalam skema pembangunan Jakarta
kelihatan sekali nelayan secara sistematis disingkirkan, karena merusak
lingkungan. Padahal yang paling merusak lingkungan adalah industri besar yang
membuang limbah berbahaya ke laut dan mereka yang merusak lahan konservasi
menjadi bangunan realestate.
Pengembangan
PIK berawal dari Izin Menteri Kehutanan tahun 1984. Ruilslag (tukar guling)
dilakukan dengan areal hutan konservasi di kawasan Kapuk dengan lahan hutan di
wilayah Sukabumi dan Cianjur. Ditilik dari aspek hydrogeography proses tukar guling ini sangat merugikan. Sebab
lokasi PIK tidak dalam satu catchment
area dengan hutan penggantinya. Tanpa
disertai dengan Analisa Dampak Lingkungan, Pemda DKI Jakarta serta merta
menerbitkan SIPPT (Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) yang kemudian
dilanjutkan dengan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Kepentingan Nilai Ekonomi
Hutan
Angke Kapuk yang sejak 10 Juni 1977 ditetapkan Menteri Pertanian sebagai hutan
lindung dan sisanya untuk hutan wisata dan pembibitan, diubah menjadi
permukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi, dan lapangan golf, dengan
syarat tetap menyediakan hutan lindung. Persetujuan perubahan fungsi tertulis
dalam SK Dirjen Kehutanan 31 Juli 1982.
Karena
peningkatan nilai ekonomi kawasan tersebut menguntungkan, jika dalam bentuk
rawa-rawa dan tambak nelayan, saat itu Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah) yang
bisa ditarik hanya Rp 2.000/ha/tahun maka ketika menjadi perumahan, DKI bisa
mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun. Kalau kawasan yang berubah fungsi 831,63 ha,
maka dana yang dihimpun mendekati Rp 2 miliar setiap tahun. Jika nilai ini
dikonversikan ke nilai sekarang, maka dalam satu RW, Pantai Indah Kapuk mampu
mengenerate pendapatan dari pajak sebesar kurang lebih 90 milyar rupiah. Maka
dari perhitungan nilai inilah Pemerintah mengeluarkan keputusan tanggal 15 Agustus 1984. Isinya
menetapkan areal pengembangan hutan Angke-Kapuk. Gubernur merasa tidak
melanggar RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah
Kota). Padahal, dalam master plan itu, jelas disebutkan kawasan itu hanyalah untuk
hutan lindung dan hutan wisata, sekaligus mencegah banjir di bandara
Soekarno-Hatta.
Dengan
pertimbangan tersebut, proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk dianggap dapat
meningkatkan pendapatan daerah propinsi DKI Jakarta. Sehingga pemprov DKI
Jakarta menyetujui proyek tersebut. Pembangunan
hanya diprorioritaskan pada aspek ekonomi dengan memandang pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur pembangunan. Sedangkan pembangunan
berkelanjutan tidak dilaksanakan sehingga timbulah berbagai macam musibah dan
persoalan yang lebih besar akibatnya daripada penerimaan atau pembangunan yang
diharapkan.
KESIMPULAN
Pengembangan
kawasan PIK membawa dampak kerusakan lingkungan ekosistem baik lingkungan
binaan manusia berupa infrastrukur dan lingkungan alami berupa kawasan hutan
bakau. Bisnis perumahan PIK memang membawa keuntungan ekonomi dan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat berupa tenaga kerja yang telah melakukan reklamasi
selama bertahun-tahun, pembangunan perumahan, dibukanya pusat bisnis baru
berupa toko, layanan masyarakat lain berupa klinik, mall dan rumah sakit, serta
naiknya nilai tanah atau harga tanah di kawasan yang semula tidak ada aktivitas
ekonominya. Kedepan reklamasi pantai sebaiknya menggunakan AMDAL terlebih
dahulu dan tidak memaksakan kepentingan bisnis yang dinilai hanya dari profit
saja sementara dampak eksternalitias tidak diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Djakapermana,
Ruchyat Deni. (tanpa angka tahun). Reklamasi
Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan.
Fitriani, Asri. et al. (2007). Permasalahan Konversi Lahan Di Pantai Indah Kapuk. Makalah
Ekonomi Sumber Daya Lahan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor.
Rossanty, Emy. (2008). Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang. Tugas Akhir. Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro
http://www.new.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=426:JAKARTA-BANJIR-SIAPA-YANG-SALAH?&Itemid=237&lang=en, diakses tanggal 27 Maret 2012
http://infoindonesia.wordpress.com/2008/02/14/penyebab-dan-solusi-banjir-di-jakarta/, diakses tanggal 27
Maret 2012
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/transtoto-handadhari/, diakses tanggal 27
Maret 2012
http://blog.reynoldsumayku.com/?p=112, diakses tanggal 27
Maret 2012