Sabtu, 13 Juli 2013

Dampak Aktivitas Bisnis Terhadap Lingkungan: Perumahan Pantai Indah Kapuk

PENDAHULUAN

  Untuk memperoleh tambahan lahan, maka pengelola kota dalam hal ini pemerintah propinsi maupun kota besar melihat potensi daerah yang selama ini terlupakan, yaitu pantai yang umumnya memiliki kualitas lingkungan hidup yang rendah. Fenomena pegembangan lahan ini bukan saja dialami di Indonesia, tapi juga dialami negara maju, sehingga wilayah pantai menjadi perhatian dan tumpuan harapan dalam menyelesaikan penyediaan hunian penduduk perkotaan. Penyediaan lahan di wilayah pesisir dilakukan dengan memanfaatkan lahan atau habitat yang sudah ada, seperti perairan pantai, lahan basah, pantai berlumpur dan lain sebagainya yang dianggap kurang bernilai secara ekonomi dan lingkungan sehingga dibentuk menjadi lahan lain yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dan lingkungan atau dikenal dengan reklamasi.
Pada tahun 1984, beberapa konsorsium pengusaha dan pebisnis melaksanakan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Pelopor dari reklamasi Pantai Utara Jakarta ini adalah Ir. Ciputra tentu dengan dukungan dari sejumlah birokrat saat itu. Daerah yang direklamasi adalah terkenal dengan nama Pantai Indah Kapuk.
Melihat aspek topografisnya, perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang terletak wilayah Jakarta Utara berada satu meter di bawah permukaan air laut pasang. Ini jelas menyulitkan pengembangan kawasan ini sebagai tempat hunian karena sewaktu-waktu dapat dilanda banjir atau air pasang. Apalagi air di kawasan ini sama sekali tidak bisa dijadikan air minum.
Semula area ini adalah rawa yang terletak di bagian utara Jakarta yang berfungsi sebagai daerah peresapan air. Kawasan Pantai Indah Kapuk juga merupakan Suaka Margasatwa Muara Angke. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan bagian dari hutan Angke Kapuk yang total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian besar hutan Angke Kapuk sudah dikuasai PT Mandara Permai, pengembang yang membangun kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk. Dari 1.154,88 hektar hutan yang ada di kawasan hutan Angke Kapuk, 827,18 hektar di antaranya diambil alih untuk permukiman, lapangan golf, tempat rekreasi dan olahraga, bangunan umum, olahraga air, cottage, hotel, dan kondominium. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi DKI, luas kawasan hutan yang dipertahankan tinggal 327,7 hektar, terdiri atas hutan lindung (44,76 hektar), hutan wisata (99,82 hektar), suaka margasatwa (25,02 hektar), kebun pembibitan (10,5 hektar), transmisi PLN (23,70 hektar), Cengkareng Drain (28,39 hektar), serta untuk keperluan jalan tol dan jalur hijau (95,50 hektar).

URAIAN PEMBAHASAN
Teori
   Reklamasi mempunyai maksud untuk menambah luasan daratan untuk suatu aktivitas yang sesuai di suatu wilayah. Contoh pemanfaatan lahan reklamasi adalah untuk keperluan industri, terminal peti kemas, kawasan pariwisata dan kawasan pemukiman. Selain itu, kegiatan reklamasi ini juga dimanfaatkan untuk keperluan konservasi kawasan pantai. Kegiatan ini dilakukan bilamana suatu wilayah sudah tererosi atau terabrasi yang parah sehingga perlu dikembalikan seperti kondisi semula.
   Dalam hukum, istilah reklamasi di temukan pada UU Nomor: 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739), pada butir 23 memberikan definisi bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
   Dampak negatif reklamasi pantai menurut Budi Usman (2005) dalam Roosanty (2008) secara garis besar antara lain adalah ancaman banjir, perubahan ekosistem, ancaman hilangnya mata pencaharian nelayan, masalah sosial, urbanisasi, penyediaan air bersih dan lalu lintas yang padat. Menurut Herrifendi Sitohang (2005) dalam Roosanty (2008) mengakibatkan hilangnya sumber tanah material urukan, membutuhkan banyak tanah, frekuensi transportasi tinggi, akan merusak ruas jalan, perubahan topologi dan ketinggian, terganggu dan berubahnya kondisi ekonomi, sosial, serta lingkungan. Sedangkan dampak positif reklamasi pantai antara lain menurut Budi Usman (2005) dalam Roosanty (2008) tertatanya kawasan pantai, tersedianya ruang bisnis, permukiman baru, lapangan kerja yang baru, meningkatkan arus investasi dan pengembangan ruang wisata baru. Menurut Moh Faiqun Ni’am (1999) dalam Roosanty (2008) mengakibatkan perubahan citra laut menjadi waterfront city, penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan atau peremajaan daerah pantai dan pengembangan wisata bahari.
   Menurut Djakapermana, kegiatan reklamasi mengakibatkan perubahan sosial ekonomi seperti, kesulitan akses publik menuju pantai dan hilangnya mata pencaharian nelayan. Sehingga untuk meminimalkan dampak fisik, ekologis, sosial ekonomi dan budaya negatif serta mengoptimalkan dampak positif, maka kegiatan rekalamasi harus dilakukan secara hati-hati dan berdasar pada pedoman yang ada dengan melibatkan stakeholder. Pada prinsipnya, reklamasi harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dengan orientasi pada jangka panjang.

Kontroversi
Kawasan pemukiman mewah Pantai Indah Kapuk (PIK) memang menjadi pusat perhatian publik. Keberadaan kawasan pemukiman tersebut seringkali dianggap sebagai penyebab banjir di kawasan sekitarnya, termasuk jalan Sedyatmo, ruas jalan tol yang menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Kawasan Jakarta Utara 40 persennya berada di bawah permukaan air pasang, maka selayaknya untuk Jakarta Utara satu-satunya sistem hidrologi yang bisa dipakai sebenarnya sistem polder. Sebenarnya bisa juga dengan menguruk tanah sehingga menjadi lebih tinggi, namun tetap saja apabila terjadi pasang kemungkinan banjir bisa terjadi.
Pada sistem polder, satu area tertentu akan dibatasi oleh tanggul. Air akan disalurkan dengan saluran kolektor masuk ke suatu waduk. Sampai pada ketinggian tertentu, air dari waduk akan dipompa ke laut. Jika tidak dibuat tanggul, air laut akan masuk ke daratan. Sebaliknya kalau ada tanggul tetapi di dalam tidak ada saluran atau kanal, air tidak akan bisa ke mana-mana. Demikian pula air buangan rumah tangga dengan tricking filter akan dibuang ke waduk dan dipompa ke laut.
Dengan demikian pihak PIK menolak tegas bila Pantai Indah Kapuk disebut-sebut merusak lingkungan atau penyebab banjir di Jakarta Utara. Karena sebenarnya, dengan kecenderungan kawasan ini yang landai, seharusnya seluruh Jakarta Utara menggunakan sistem polder. Tidak ada perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh sistem tersebut.
Sebagai kawasan perumahan yang mahal, PIK memiliki akses tersendiri ke jalan tol dalam kota. Dari Grogol jika ingin menuju PIK sudah tidak perlu ke Pluit atau Muara Karang, tetapi langsung keluar di pintu tol Kapuk Muara. Demikian sebaliknya, dari PIK dapat langsung masuk ke tol dalam kota. Sedangkan akses ke luar ada dua yaitu dari Taman Grisenda langsung ke Daan Mogot dan Puri Indah, serta dari Mediterania lewat Pluit Karang . Dengan demikian akan mempercepat mereka yang berbisnis di Mangga Dua, Grogol, Tanjung Priok, Jakarta Barat dan sebagainya.
   Pihak pengembang optimis PIK akan sustainable. Karena wilayah Muara Karang dan Pluit sudah padat dengan perumahan penduduk. Masyarakat pasti akan mencari perumahan di PIK karena di sini mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan tempat bisnis yang mudah dijangkau.

Sebelum Pengembangan
Sebelum dikembangkan kawasan permukiman, Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan tempat atau habitat satwa-satwa liar. Beberapa jenis satwa liar seperti burung kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), kuntul (Egretta spp), pecuk (Phalacrocorax spp), belibis (Dendrocygna spp), raja udang (Todirhampus spp), bubut jawa (Centropus nigrorufus) biawak (Varanus salvator), berbagai jenis ular seperti sanca (Python reticulatus) dan kobra (Naja sputatrix). Di tempat itu juga ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang saat ini jumlahnya lebih kurang 60 ekor, yang dilindungi oleh aturan internasional karena termasuk dalam kategori rentan.
Daerah ini juga mempunyai fungsi sebagai pengendali banjir. Sebagai upaya melindungi kawasan penyerapan dan perlindungan terhadap abrasi pantai, pemerintah Hindia Belanda saat itu menetapkan kawasan hutan bakau Muara Angke sebagai kawasan konservasi. Suaka Margasatwa Muara Angke bisa disebut sebagai salah satu ruang terbuka hijau yang secara ekologi masih memiliki komponen biotik dan abiotik yang cukup lengkap. Lahan yang terdapat di kawasan Pantai Indah Kapuk merupakan lahan basah atau yang disebut wetland sehingga merupakan tempat ekosistem yang baik bagi populasi burung air dan burung migran yang tidak dapat dilepaskan dari ekosistem hutan mangrove di Pantai.

Setelah Pengembangan
Dirubahnya fungsi lahan yang merupakan rawa dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai daerah resapan air menjadi lahan permanen mengakibatkan air yang semula terhimpun di wilayah ini kemudian menjadi genangan-genangan disekitarnya yang meluap apabila musim penghujan tiba, selain itu disekitar Jakarta terutama kawasan Jakarta Utara kondisi air tanah sudah mengalami penyusutan dan kerusakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Lahan di daerah PIK dimanfaatkan untuk berbagai sektor yang bertolak belakang dan tidak saling mendukung. Kawasan yang pada awalnya adalah suaka margasatwa dan ikatan mata rantai ekosistem yang dinamis kini hanya menjadi asset ekonomi yang menghasikan profit bagi pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan dari proyek tersebut yang bernilai ekonomis lebih diprioritaskan dibanding proyek pelestarian lingkungan dan sumberdaya.
Dengan mengambil keuntungan dari profit yang merusak ekosistem, ekologi dan keanekaragaman hayati akan mendatangkan permasalahan yang lebih besar. Contohnya adalah masalah banjir yang setiap tahunnya melanda Jakarta. Daerah Pantai Indah Kapuk dengan permukiman yang bernama Pondok Indah Kapuk dibangun di wilayah di bawah permukaan air laut. Akibatnya alih fungsi lahan yang bersifat permanen ini membuat tidak adanya resapan air, akibatnya banjir akan terjadi di sekitar wilayah Pantai Indah Kapuk.
Namun desain pembangunan kawasan perumahan PIK membuat penghuninya tidak merasakan masalah ini karena air pada lahan basah ini dialirkan ke wilayah-wilayah sekitarnya. Lahan ini juga mengalami penurunan, dapat dilihat dari jalan tol menuju bandara Soekarno-Hatta, lahan daerah tersebut semakin rendah.
Pemadatan tanah pada areal seluas 831 ha mengakibatkan jika terjadi hujan, air sebanyak 16 juta meter kubik tidak tertampung. Genangan air pun meluap ke wilayah sekitarnya dan menenggelamkan badan jalan tol Sedyatmo serta pemukiman penduduk sekitarnya. Pola pemanfaatan lahan masih dianggap permasalah sektoral sehingga masalah ini menjadi agenda subwilayah yang kadang terabaikan bahkan menjadi suatu masalah yang dibayar dengan sejumlah uang tertentu, padahal kriteria setiap kawasan berbeda. Keadaan tanah dan kondisi lahan harus sesuai dengan pola pemanfaatnnya, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dalam pemanfaatan lahan yang dapat berakibat fatal. Terhalangnya aliran air ke laut karena adanya kawasan pemukiman ditepian pantai membuat keadaan kawasan ini menjadi tidak nyaman.
Walhi menegaskan pemerintah tidak memberikan ruang dan rasa hormat yang cukup pada kaum nelayan dan masyarakat kecil. Struktur negara tidak mempunyai komitmen dalam melindungi nelayan. Misalnya reklamasi yang harusnya untuk hutan bakau malah dikonversi menjadi perumahan elite. Dalam skema pembangunan Jakarta kelihatan sekali nelayan secara sistematis disingkirkan, karena merusak lingkungan. Padahal yang paling merusak lingkungan adalah industri besar yang membuang limbah berbahaya ke laut dan mereka yang merusak lahan konservasi menjadi bangunan realestate.
Pengembangan PIK berawal dari Izin Menteri Kehutanan tahun 1984. Ruilslag (tukar guling) dilakukan dengan areal hutan konservasi di kawasan Kapuk dengan lahan hutan di wilayah Sukabumi dan Cianjur. Ditilik dari aspek hydrogeography proses tukar guling ini sangat merugikan. Sebab lokasi PIK tidak dalam satu catchment area dengan hutan penggantinya.  Tanpa disertai dengan Analisa Dampak Lingkungan, Pemda DKI Jakarta serta merta menerbitkan SIPPT (Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) yang kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).

Kepentingan Nilai Ekonomi
Hutan Angke Kapuk yang sejak 10 Juni 1977 ditetapkan Menteri Pertanian sebagai hutan lindung dan sisanya untuk hutan wisata dan pembibitan, diubah menjadi permukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi, dan lapangan golf, dengan syarat tetap menyediakan hutan lindung. Persetujuan perubahan fungsi tertulis dalam SK Dirjen Kehutanan 31 Juli 1982.
Karena peningkatan nilai ekonomi kawasan tersebut menguntungkan, jika dalam bentuk rawa-rawa dan tambak nelayan, saat itu Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah) yang bisa ditarik hanya Rp 2.000/ha/tahun maka ketika menjadi perumahan, DKI bisa mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun. Kalau kawasan yang berubah fungsi 831,63 ha, maka dana yang dihimpun mendekati Rp 2 miliar setiap tahun. Jika nilai ini dikonversikan ke nilai sekarang, maka dalam satu RW, Pantai Indah Kapuk mampu mengenerate pendapatan dari pajak sebesar kurang lebih 90 milyar rupiah. Maka dari perhitungan nilai inilah Pemerintah mengeluarkan keputusan tanggal 15 Agustus 1984. Isinya menetapkan areal pengembangan hutan Angke-Kapuk. Gubernur merasa tidak melanggar RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota). Padahal, dalam master plan itu, jelas disebutkan kawasan itu hanyalah untuk hutan lindung dan hutan wisata, sekaligus mencegah banjir di bandara Soekarno-Hatta.
Dengan pertimbangan tersebut, proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk dianggap dapat meningkatkan pendapatan daerah propinsi DKI Jakarta. Sehingga pemprov DKI Jakarta menyetujui proyek tersebut.  Pembangunan hanya diprorioritaskan pada aspek ekonomi dengan memandang pendapatan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur pembangunan. Sedangkan pembangunan berkelanjutan tidak dilaksanakan sehingga timbulah berbagai macam musibah dan persoalan yang lebih besar akibatnya daripada penerimaan atau pembangunan yang diharapkan.

KESIMPULAN
Pengembangan kawasan PIK membawa dampak kerusakan lingkungan ekosistem baik lingkungan binaan manusia berupa infrastrukur dan lingkungan alami berupa kawasan hutan bakau. Bisnis perumahan PIK memang membawa keuntungan ekonomi dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat berupa tenaga kerja yang telah melakukan reklamasi selama bertahun-tahun, pembangunan perumahan, dibukanya pusat bisnis baru berupa toko, layanan masyarakat lain berupa klinik, mall dan rumah sakit, serta naiknya nilai tanah atau harga tanah di kawasan yang semula tidak ada aktivitas ekonominya. Kedepan reklamasi pantai sebaiknya menggunakan AMDAL terlebih dahulu dan tidak memaksakan kepentingan bisnis yang dinilai hanya dari profit saja sementara dampak eksternalitias tidak diperhitungkan.


DAFTAR PUSTAKA

Djakapermana, Ruchyat Deni. (tanpa angka tahun). Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan.

Fitriani, Asri. et al. (2007). Permasalahan Konversi Lahan Di Pantai Indah Kapuk. Makalah Ekonomi Sumber Daya Lahan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Rossanty, Emy. (2008). Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang. Tugas Akhir. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro




http://blog.reynoldsumayku.com/?p=112, diakses tanggal 27 Maret 2012