Selasa, 24 September 2013

Luck needs preparation

Berikut adalah tulisan dari Bapak Rhenald Kasali yang saya ambil dari Kompas. Menarik, mohon ijin Pak untuk saya simpan di Blog saya. Kali ini tentang kesuksesan dalam menangkap peluang yang diperoleh karena keberuntungan dan persiapan yang matang dalam memperbaiki perusahaan. Mari kita simak….

Liverpool dan Garuda Indonesia

KOMPAS.com — Esok hari setelah tim sepak bola Liverpool tiba di Jakarta pada Rabu (17/7/2013), saya bertemu dengan Emirsyah Satar. Hari itu Emir semringah. Pujobroto, Kepala Komunikasi Garuda Indonesia, membawa setumpuk surat kabar. Hari itu hampir semua surat kabar nasional menurunkan headline kedatangan tim Liverpool di Jakarta.
Berita tentang kedatangan tim sepak bola dunia sudah pasti menarik perhatian. Wajar bila menjadi headline. Tetapi, menjadi luar biasa karena semua berita menampilkan gambar saat ke 25 pemain berkaus merah menyala turun dari tangga pesawat Garuda Indonesia. Di situ terpampang logo besar Liverpool dan di sebelah tangga logo Garuda pada sebuah badan pesawat.
Emir terkekeh. Pasalnya, sponsor utama yang mendatangkan Liverpool ke Indonesia bukanlah Garuda Indonesia. Garuda Indonesia adalah global official airline yang dipakai Liverpool dalam setiap turnya di Asia dan Australia. Jadi, untuk tur kali ini ke semua negara tujuan di Asia dan Australia, Liverpool terbang bersama Garuda Indonesia sehingga foto-fotonya akan terpampang di media massa mancanegara.
Garuda menandatangani kontrak dengan Liverpool akhir tahun lalu untuk tiga musim kompetisi (2012–2015). Sedangkan sponsor resmi yang mendatangkan Liverpool ke sini adalah Standard Chartered Bank, yang membayar 20 juta poundsterling untuk setiap musimnya.

"Luck is preparation"

Kami terkekeh-kekeh karena sepertinya Emir menjadi orang yang sangat beruntung, selalu seperti ketiban durian runtuh. Kisahnya sedang saya tulis dalam buku From One Dollar to be Billion-dollars Company. Ya, itu kisah bagaimana Emir memutar balik Garuda dari semula perusahaan yang nyaris bangkrut (ibaratnya hanya dihargai satu dollar AS) menjadi perusahaan besar yang dinilai miliaran dollar AS.
Kisahnya dimulai dari sebuah telepon yang tiba-tiba berdering di sakunya, seseorang yang biasa membuat signboard iklan di lapangan sepak bola menyapa Emir. Sambil berkenalan, orang itu straight to the point menjelaskan niatnya untuk mengajak Garuda memasang iklan di tepi lapangan sepak bola Inggris. "We would like to offer you to be sponsor of the event." Saya bilang, ”How much do you expect? tanya Emir. "The sign board usually costs a million," ujarnya. Terus saya bilang, “Sorry I don’t have a budget. I’m not interested.” Tapi katanya, “No! But, we need a good airline."
Ceritanya, sponsor airlines yang sudah sepakat tiba-tiba menarik diri, sementara orang itu sudah commit untuk memasangnya. Itu adalah event babak prakualifikasi Piala Dunia, pertandingan antara Belanda versus Inggris.
Orang itu mengajukan tawaran sekitar setengah juta dollar AS, dan Emir pun menampiknya. Tetapi, ia meminta agar Emir jangan memutuskan telepon dan menanyakan berapa kesanggupannya. Dengan sigap Emir mengatakan, perusahaannya adalah public listed company, ia harus membawa ke dalam rapat board. Tetapi, kalau 60.000 dollar AS ia bisa menerima. Orang itu minta waktu. Dan, beberapa saat kemudian ia menelepon kembali: deal!
Bagaimana kami tak terkekeh-kekeh. Dari setengah juta dollar AS, ia bisa mendapat harga 60.000 dollar AS. Ini benar-benar lucu. Sebab, untuk memasang iklan full color di media nasional saja belum tentu cukup sebesar itu.
Wajar bila Garuda Indonesia berkepentingan dengan citranya di Inggris. Tahun 2013 Garuda akan terbang direct Jakarta–London. Sementara itu, citra masa lalunya tidak begitu baik. Menyusul deregulasi dalam industri penerbangan domestik, sejak tahun 2003 banyak airlines baru bermunculan dengan menawarkan tarif murah di sini. Namun, itu bukan tanpa risiko. Satu per satu pesawat berjatuhan dan Indonesia dikenal sebagai negeri yang kurang peduli dengan keselamatan penerbangan.
Akibatnya, pada tahun 2007, Uni Eropa yang merupakan gabungan dari 27 negara mengeluarkan larangan terbang terhadap empat armada penerbangan nasional ke wilayah itu, termasuk Garuda. Garuda Indonesia tentu tak bisa berkilah bahwa itu bukan Garuda, melainkan perusahaan-perusahaan penerbangan swasta yang masih baru. Kabar buruk itu tidak hanya merusak citra Garuda, tetapi juga dunia pariwisata nasional. Turis-turis Eropa beralih ke negeri tetangga.
Maka, wajarlah Garuda berkepentingan terhadap pemulihan citranya. Mengapa orang itu datang ke Emir?
Jawabnya sederhana. Seneca pernah mengatakan, tak ada keberuntungan yang datang tiba-tiba dari langit. “Luck is somewhere when opportunity meets preparation," ujarnya.

Garuda sudah lama mempersiapkan diri. Sejak keluar dari larangan terbang ke Eropa (2009), Emir dan timnya segera mempercantik Garuda. Sejak itu penghargaan demi penghargaan intenasional pun diterima. Garuda pun mendapatkan penghargaan sebagai "World Best Regional Airlines" dari Skytrax. Hal ini tentu menarik perhatian dunia. Itulah yang dikatakan si penelepon tadi sehingga ia merasa lebih butuh Garuda daripada sebaliknya. Meskipun di sisi lain, Garuda merasa ia-lah yang berkepentingan.
Tak disangka, sign board di tepi lapangan yang terkesan serba kebetulan dalam babak prakualifikasi Piala Dunia itu ternyata menempatkan Garuda Indonesia dalam radar para manajer klub sepak bola Eropa. Sejak itulah tawaran datang dari dua klub besar, Chelsea dan Liverpool.

Mengapa memilih Liverpool?

Simpel saja. Liverpool memiliki sejarah dan tata nilai yang sama dengan yang tengah dibangun di Garuda Indonesia. Sejarahnya yang panjang dengan rangkaian kemenangan yang stabil adalah poin penting untuk pengambilan keputusan. Sedangkan prestasi tim lainnya sangat tergantung pada siapa yang tengah menjadi pemiliknya. Selain itu, "The Reds", julukan Liverpool, memiliki 580 juta penggemar di seluruh dunia. Jumlah penggemarnya di Asia mencapai 300 juta orang, dan 1,5 juta di antaranya di Indonesia.
Ada 10,2 juta penggemar yang mengakses akun FB klub ini, ditambah 1,1 juta followers dalam akun Twitter-nya. Sebagai klub tertua di Liga Inggris yang didirikan pada 1892, saya tak heran bila Liverpool memiliki pendukung fantastis yang terbesar di dunia. Akhirnya deal pun dicapai, dan ini bagus bagi peningkatan citra Garuda dalam bisnis internasionalnya. Lihatlah iklan baru TVC Garuda Indonesia yang sekarang banyak ditayangkan di media global, juga memakai talent Liverpool.
Saya kira kita bisa belajar, tak ada keberuntungan yang datang tiba-tiba. Semuanya bentuk kerja keras dan perjuangan yang panjang. Intinya apa lagi kalau bukan persiapan. Keberuntungan hanya akan tiba pada orang-orang yang siap. Mau beruntung? Enggak cukup pakai celana pendek saja. Harus cerdas dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari.

Kemunduran Perusaahaan yang bukan permasalah marketing

Berikut adalah tulisan dari Bapak Rhenald Kasali yang saya ambil dari Kompas. Menarik, mohon ijin Pak untuk saya simpan di Blog saya. Kali ini tentang kemunduran berbagai perusahaan karena sesuatu hal yang bukan permasalahan marketing. Mari kita simak….

Rhenald Kasali ( @Rhenald_Kasali )
KOMPAS.com - Pada tahun 1960-an dipergelangan tangan manusia nyaris hanya ada arloji “made in Swizerland.” Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60 persen. Tetapi tahun 1980-an market share-nya tinggal 15 persen. 
Pada tahun1970-an , dunia hanya mengenal film roll merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health, dan lain-lain). Beberapa tahun lalu, kita juga menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat", tetapi minggu lalu kita mendengar divisi handset Nokia diakusisi Microsoft.
Apa yang tengah terjadi dengan Strong Brand itu? Bukankah di Indonesia juga ada ribuan strong brand yang tinggal kenangan?
Ketika berhadapan dengan menurunnya Revenue from Sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengutak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging dan seterusnya. Padahal masalahnya bisa jadi bukan di situ. Masalahnya bukan inside the “odds”, melainkan sesuatu yang telah berubah.
Nokia

Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.
Dari Nokialah, di Harvard, para eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Ya daya saing perusahaan, daya saing negara (Finland), hingga bagaimana policy makers membangun kluster, industri-industri pelengkap dan kebijakan yang pro-business sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berpikir, sekali daya saing didapat maka dengan prinsipitu akan di dapat sustainability. Dan itu artinya kesejahteraan.
Tetapi minggu lalu, Microsoft mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Para investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices. Artinya industrinya sendiri tengah berubah.
Namun Nokia sendiri seperti juga tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share –nya mengerucut, tinggal 15 persen. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: Mengutak-atik keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yg telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.
Kekacauan seperti di Nokia juga pernah terjadi di Kodak beberapa tahun yang lalu, tak lama setelah masa-masa sulit industri roll film di 1970-1980 an yang terjadi akibat kenaikan harga perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati di tahun 1980an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis. Padahal pada tahun 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji segera menangkap peluang itu.
Di bawah Minoru Onishi, Fuji menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada tahun 1999, total investasi risetnya di area ini mencapai  2 miliar dollar AS. Sehingga pada tahun 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing labs. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgent), office automation, dan manufactur untuk floppy disk.
Bagaimana reaksi Kodak? Kodak masih berkutat di seputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital lab processing, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy saja. Sales drop bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.
Reaksi serupa juga terjadi di Modern Group, distributor tunggal roll film Fuji di sini. Modern Group juga mengalami kesulitan ketika bisnis roll film tak lagi digemari pasar. Sales revenue nya dalam bisnis ini drop dari Rp 2 triliun (2002) tinggal menjadi hanya Rp 212 miliar (2010) dan terus merosot. Beruntung mereka segera beruba. Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia baru dengan bussines model 7 Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Group.
Analisis Industri
Kebanyakan kita umumnya belajar marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri model Five-forces, kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.
Tetapi di awal abad 21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar business model. Dalam buku Cracking Zone, saya memperkenalkan kategori baru dalam inustri yang saya sebut sebagai Cracker, yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri.
Nah bila, wabah crackership sudah melebar kemana-mana, competitive advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan strong brand bisa saja tiba-tiba beralih menjadi problematic brand. Apalagi bila eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman.


Mereka akan sangat mudah digoyang para business-modelist baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.