Berikut
adalah tulisan dari Bapak Rhenald Kasali yang saya ambil dari Kompas. Menarik,
mohon ijin Pak untuk saya simpan di Blog saya. Kali ini tentang kemunduran
berbagai perusahaan karena sesuatu hal yang bukan permasalahan marketing. Mari kita
simak….
Rhenald Kasali ( @Rhenald_Kasali
)
KOMPAS.com - Pada tahun 1960-an dipergelangan tangan manusia nyaris hanya ada arloji
“made in Swizerland.” Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share
di atas 60 persen. Tetapi tahun 1980-an market share-nya tinggal 15
persen.
Pada tahun1970-an , dunia hanya
mengenal film roll merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tiada, sedangkan Fuji
berevolusi ke dunia digital (lab, health, dan lain-lain). Beberapa tahun lalu,
kita juga menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat", tetapi minggu lalu kita
mendengar divisi handset Nokia diakusisi Microsoft.
Apa yang tengah terjadi dengan Strong
Brand itu? Bukankah di Indonesia juga ada ribuan strong brand yang
tinggal kenangan?
Ketika berhadapan dengan
menurunnya Revenue from Sales, biasanya eksekutif mempersoalkan
marketing. Yang satu mengutak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi
penjualan, packaging dan seterusnya. Padahal masalahnya bisa jadi bukan di
situ. Masalahnya bukan inside the “odds”, melainkan sesuatu yang telah berubah.
Nokia
Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.
Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.
Dari Nokialah, di Harvard, para
eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Ya daya saing
perusahaan, daya saing negara (Finland), hingga bagaimana policy makers
membangun kluster, industri-industri pelengkap dan kebijakan yang pro-business
sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berpikir,
sekali daya saing didapat maka dengan prinsipitu akan di dapat sustainability.
Dan itu artinya kesejahteraan.
Tetapi minggu lalu, Microsoft
mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Para
investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia,
sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC
dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices.
Artinya industrinya sendiri tengah berubah.
Namun Nokia sendiri seperti juga
tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share
–nya mengerucut, tinggal 15 persen. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia
melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: Mengutak-atik
keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft,
yang tertarik menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini
keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih
ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar
analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yg telah
terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.
Kekacauan seperti di Nokia juga
pernah terjadi di Kodak beberapa tahun yang lalu, tak lama setelah masa-masa
sulit industri roll film di 1970-1980 an yang terjadi akibat kenaikan harga
perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati di tahun
1980an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis.
Padahal pada tahun 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji
segera menangkap peluang itu.
Di bawah Minoru Onishi, Fuji
menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada tahun 1999, total investasi
risetnya di area ini mencapai 2 miliar dollar AS. Sehingga pada tahun
2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing labs.
Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgent), office automation, dan
manufactur untuk floppy disk.
Bagaimana reaksi Kodak? Kodak
masih berkutat di seputar marketing: branding, location, pricing, packaging,
advertising dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital lab
processing, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal
kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau
hanya menjalankan marketing strategy saja. Sales drop bukanlah
melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.
Reaksi serupa juga terjadi di
Modern Group, distributor tunggal roll film Fuji di sini. Modern Group juga
mengalami kesulitan ketika bisnis roll film tak lagi digemari pasar. Sales
revenue nya dalam bisnis ini drop dari Rp 2 triliun (2002) tinggal menjadi
hanya Rp 212 miliar (2010) dan terus merosot. Beruntung mereka segera beruba.
Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia baru dengan bussines
model 7 Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas
nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Group.
Analisis Industri
Kebanyakan kita umumnya belajar
marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi
keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri
model Five-forces, kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu
terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.
Tetapi di awal abad 21, business
landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan
dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi
bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar
industri, bahkan antar business model. Dalam buku Cracking Zone, saya
memperkenalkan kategori baru dalam inustri yang saya sebut sebagai Cracker,
yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri.
Nah bila, wabah crackership sudah melebar kemana-mana, competitive
advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi
berjalan sendiri. Bahkan strong brand bisa saja tiba-tiba beralih
menjadi problematic brand. Apalagi bila eksekutif puncaknya sudah
terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman.
Mereka akan sangat mudah digoyang para business-modelist baru yang
tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir
semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar